Pengaruh Pasar Derivatif terhadap Krisis Global
Dengan posisi AS sebagai pusat finansial global dan perekonomian terbesar dunia, krisis ini dengan cepat bertransformasi menjadi krisis finansial global dan berpotensi besar menyeret dunia ke dalam depresi global. Berbagai kebijakan yang digulirkan bank sentral dan pemerintah mulai dari skema penyelamatan lembaga keuangan, stimulus ekonomi, injeksi likuiditas hingga intervensi langsung di pasar saham dan uang, tak mampu menahan kejatuhan ini. Penjelasan terpenting yang kurang populer adalah karena kelemahan dalam sistem finansial global itu sendiri yang memfasilitasi krisis untuk semakin membesar dan menyebar luas.
Salah satu fitur utama sistem finansial global yang dianggap paling bertanggung jawab disini adalah derivatif. Alasan terpenting mengapa krisis menyebar dengan cepat dan memicu gelombang besar kerugian massal dimulai ketika Bank-Bank pemberi KPR beresiko tinggi (subprime mortgage) menjual hak tagih kredit mereka ke Freddie Mac dan Fannie Mae agar aliran kredit perumahan oleh Bank dapat terus berjalan tanpa harus menunggu arus pelunasan kredit oleh nasabah. Dari tagihan kredit perumahan yang dibeli inilah Freddie Mac dan Fannie Mae kemudian membuat berbagai produk derivatif yaitu collateralized debt obligations (CDO). Kredit beresiko tinggi ini dikemas menjadi surat utang yang memberi imbal hasil menarik.
Di tengah rendahnya suku bunga dan kuatnya kondisi perekonomian AS saat itu, imbal hasil dari surat utang ini menarik berbagai lembaga keuangan dari seluruh dunia untuk membelinya. Permainan belum berhenti. Setelah CDO, produk derivatif lainnya meningkat pesat yaitu credit default swap(CDS), surat berharga yang memberikan jaminan bayar jika surat utang mengalami default. Salah satu pemain terbesar dalam permainan swap ini adalah AIG. Ketika pasar kredit perumahan booming, banyak perusahaan membeli instrumen ini dari AIG sebagai perusahaan asuransi raksasa dengan rating kredit dan neraca yang kuat. AIG sendiri menerbitkan CDS dengan kepercayaan bahwa resiko default dari berbagai sekuritas yang dijaminnya adalah rendah. Produk finansial turunan ini kebanyakan berhubungan dengan pasar perumahan AS. Ia kini merupakan jantung krisis perbankan dan memicu penghapusan buku besar-besaran berbagai aset macet di berbagai penjuru dunia dari laporan keuangan mereka. Dampak buruknya akan makin termultiplikasi berkali-kali lipat jika AIG ikut bangkrut. Entitas bisnis asuransi ini memiliki nilai eksposur pada kredit derivatif. Semuanya merupakan bisnis yang berhubungan bank-bank sehingga akan turut merontokkan modal mereka dari sisi neraca keuangan jika AIG ikut bangkrut. Tidak mengherankan kalau akhirnya Bank Sentral AS (The Federal Reserve) kemudian memutuskan intervensi.
Dampak paling pertama adalah kecemasan terhadap nasib kontrak pada utang Lehman sendiri. Sebagai "bagian kredit", kebangkrutan ini akan memicu berakhirnya kontrak berdasarkan perundang-undangan yang disusun International Swaps and Derivatives Association (ISDA). Mereka yang menjual asuransi produk derivatif bagi Lehman tidak saja merugi, tetapi terancam bangkrut. Memang investor sebelumnya sudah mengetahui bahwa investasi Lehman sendiri sudah berisiko tinggi sehingga pemodal sejatinya memiliki cukup kesempatan untuk membatasi eksposur mereka terhadap Lehman.
Dampak kedua adalah terkait dengan deal di mana Lehman menjadi perantara, misalnya penjual atau pembeli kontrak transaksi swap. Misalnya, investor atau bank mungkin membeli swap sebagai jaminan terhadap gagal bayarnya AIG. Pada posisi ini, Lehman berada di posisi tidak langsung. Namun, proteksi ini akan tidak bernilai sama sekali jika Lehman gagal membayarnya.
Dampak ketiga adalah pada pasar collateralised-debt obligation (CDO) yang begitu bermasalah sejak tahun lalu. CDO merupakan investasi yang didukung oleh berbagai tipe surat utang, termasuk obligasi dan jenis pinjaman lain. Bentuk lain CDO adalah collateralized mortgage obligation. Di dalam CDO juga terdapat CDS. Kebangkrutan Lehman bisa membuat rugi besar bagi para pemegang aset berisiko tinggi ini. Meski regulasi yang ditetapkan ISDA sejatinya sudah mempertimbangkan kemungkinan terburuk ini, posisi nilai derivatif Lehman di pasar yang mencapai ratusan miliar dolar jelas akan mengguncangkan pasar derivatif.
Tidak terhindarkan pula kemungkinan terjadinya sengketa hukum. Artinya, hulu ledak senjata pemusnah massal seperti yang diungkapkan Tuan Buffett mungkin sudah diluncurkan sekarang ini. Selain itu, perlu pula dicermati kemungkinan spekulasi melalui transaksi short selling yang telah membuat indeks bursa rontok belakangan ini. Otoritas Jasa Keuangan Inggris akhir pekan lalu baru saja memberlakukan larangan transaksi short selling pada saham-saham sektor finansial selama empat bulan. Tindakan itu juga dilakukan Komisi Bursa dan Sekuritas AS (semacam Bapepam) dengan menyusul melakukan pelarangan yang sama selama 10 hari. Short selling adalah transaksi jual saham yang dilakukan investor meskipun investor tidak memiliki saham tersebut dengan meminjam saham dari perusahaan sekuritas. Investor akan memperoleh keuntungan jika harga saham yang dijualnya itu kemudian makin turun nilainya.
Meski pasar derivatif dan transaksi short selling tidak bisa disalahkan sepenuhnya, keduanya dinilai berperan dalam kejatuhan korporasi raksasa dan bursa . Tentu saja ini dengan tanpa menafikan peran bubble kredit perumahan berkualitas rendah (subprime mortgage) di AS sebagai awal pencetus krisis. Pasar derivatif memanfaatkan bubble di pasar hipotek subprime mortgage untuk menarik dana sebesar-besarnya melalui penerbitan obligasi berbasis mortgage. Akibat kerakusan tersebut gelembung- gelembung aset terlihat makin besar dan akhirnya pecah berkeping-keping sekarang ini. Krisis di AS ini seperti mengulang kisah kelam krisis moneter yang menerjang Asia pada 1997 silam. Bedanya, karena yang demam tinggi adalah entitas terbesar perekonomian dunia, skala dampaknya menjadi sungguh meluas dengan kondisi yang lebih buruk dan kompleks. Rencana Pemerintah AS untuk menangani krisis keuangan ini mirip dengan badan penyehatan perbankan nasional di Indonesia. Ini diharapkan mampu membantu sektor perbankan mengeluarkan aset berbasis kredit perumahan (mortgage) yang sudah macet, nilai pasarnya nyaris nol, dan sulit untuk dijual kembali. Mekanismenya, badan Pemerintah AS akan membeli aset mortgage dari lembaga keuangan bermasalah. Aset itu dijual kembali ke pasar ketika situasi sudah pulih. Perusahaan bermasalah menjual aset yang sudah macet dari neraca keuangannya itu dengan harga diskon.
Komentar
Posting Komentar